New Normal, yakin konsep udah siap?

Face off with New Era

Ketika New Normal mulai naik daun, jadi teringat dulu saat lomba, ada konsep bahwa bencana itu adalah salah satu solusi untuk menormalkan kembali ledakan demografi.

Unik sih, bahkan menjadi best paper saat itu. Tapi yaa, tak manusiawi jika kita membiarkan manusia mati begitu saja, ya kan? Misalkan ibu kita sekarat, apakah kita hanya membiarkannya begitu saja? Pasti ada upaya kita untuk menolongnya kan. Apabila akhirnya meniggal, itu sudah di luar kuasa kita. Dan konsep yang di masuk dalam paper itu adalah untuk konteks bencana alam yang sifatnya, kita sebagai manusia sudah tidak memiliki kuasa lagi. Tentu sudah ada upaya mitigasi.. Tapi yang dinamakan tsunami, gempa bumi, gunung meletus dan yang lainnya itu tidak bisa kita request mau sebesar apa, datangnya kapan, dan lain sebagainya. 

Kalau konsep itu diterapkan untuk kondisi sekarang, itu namanya pembunuhan kalo aku bilang. Silahkan yang beda pendapat. Karena sebenernya ada upaya di wilayah ikhtiari yang masih bisa diupayakan untuk mecegah penularan. Ya, kecuali memang ada arah ingin mendepopulasi secara masal, nah itu beda lagi.

Penganut ide malthusian seringkali mempermasalahkan jumlah penduduk (manusia). Kemudian membandingkannya dengan ketersediaan sumber daya alam yang ada. Maka disimpulkan ada kelangkaan, akan ada kerusakan, deplesi sumber daya, dll. Memang benar, akan ada kekurangan, deplesi dan kerusakan ketika bumi, ruang hidup kita masih diselimuti oleh paradigma kapitalisme dalam pengelolaannya. Masalahnya bukan karena langkanya sumber daya tapi tidak meratanya distribusi dan alokasi sumber daya. Alloh SWT kan sudah menjamin bahwa bumi ini cukup untuk menghidupi kita. Alloh gak mungkin mendzolim sama makhluknya. Alloh SWT berfirman yang artinya,
"Dan bumi Kami bentangkan, dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh berdiri, serta Kami tumbuhkan padanya tiap-tiap sesuatu yang tertentu timbangannya"
(Qs Al Hijr: 19)
Terus, kenapa bisa merasa kurang?
Maghatma Ghandi berkata,
"Bumi itu cukup untuk menghidupi seluruh manusia tapi tidak akan pernah cukup untuk menghidupi satu manusia yang serakah"
Sumber daya kian langka, bisa jadi iya. Tapi Alloh menjamin itu semua cukup asalkan di kelola dengan pengelolaan Alloh. Apa itu? Ya, syariat islam.

Oleh karena itu, islam tidak menafikkan jika ada realitas golongan masyarakat miskin. Maka dari itu ada mekanisme periayahan negara untuk orang-orang miskin. Contohnya ada pos zakat. Namun sebelum itu, negara akan mendorong pihak-pihak yang berkewajiban (misal penanggung nafkah terdekat) untuk memenuhi hak si miskin. Nah, jika sudah habis ini "ring" tugas negara yang ambil alih secara langsung. Miskin disini maksudnya orang-orang yang tidak dapat akses sumber daya karena "langka".

Selain itu, masyarakat juga didorong untuk bersedekah. Gambarannya ya seperti saat pandemi ini muncul, kan banyak sekali orang-orang dermawan yang donasinya bahkan lebih besar dari galangan dananya para punggawa istana. Itu saja mereka inisiatif sendiri loh. Apalagi jika didorong dan disuasanakan oleh negara dengan dorongan keimanan, hemmm sebanyak apa ya kira-kira? 😱😱

Negara juga akan mengelola sumber daya sesuai konsep kepemilikan dalam islam. Sehingga distribusi sumber daya dapat dijalankan dengan baik. Jadi, seandainya ada warga negara kok miskin, itu bukan miskin karena sistem atau istilahnya kemiskinan struktural. Sebab negara telah membuka berbagai peluang bagi warga negara untuk memperoleh penghidupan. Misalnya dari distribusi sumber daya lahan aja deh. Mudah sekali jika ingin mempunyai lahan di daulah. Cukup buatkan pagar saja. Asalkan bukan milik orang lain atau lahan yang dilindungi (diariayah negara untuk kepentingan umum) udah wae. Sekarang mau mengakses lahan sulitnya luar biasa. Yang ada kita diminta untuk sewa. Kasihannya jika petani di desa yang tak mempunyai lahan, biasanya terkena sistem sewa maro. Jadi, lahan milik orang, petaninya yang garap, hasilnya dibagi dua dengan pemilik lahan. Padahal pemilik lahan tak mengerjakan apapun di lahannya. Semakin memiskinkan yang miskin.

Kalau dalam islam, misalkan seseorang lahan lahan, namu dia tidak bisa mengola sehingga lahan itu menjadi terbengkalai, maka halal bagi kita untuk ambil alih. Bahkan negara memiliki kuasa untuk menarik asetnya dan diberikan kepada yang membutuhkan. Contoh kasusnya dulu di zaman Umar bin Khattab.

Dengan adanya kebijakan tersebut, satu sisi orang akan berfikir dua kali kalau ingin memiliki lahan yang luas, bisa tidak ngelolanya? (ngelola disini tidak harus menanam sendiri, bisa akad ijarah ke penggarap lahannya). Maka dari itu, tuan-tuan tanah kemungkinannya kecil untuk eksis.

Selain itu, keimanan seseorang senantiasa dihadirkan, sehingga memunculkan rasa takut akan pertanggungjawaban atas kepemilikannya kelak di akhirat. Seorang muslim akan sadar untuk apa perniagaan yang ia usahakan selama ini. Jadi, misal ada yang punya tanah luaspun motivasinya bukan menimbun harta kekayaan tapi ada motivasi untuk meraih peluang pahala dari harta yang Alloh titipkan padanya. Selain itu juga, terdapat mekanisme zakat pertanian dalam pengelolaan lahan. Tentunya ketika sudah mencapai nishab dan haulnya.

Singkatnya, banyak sekali lapisan atau ring yang menjamin dengan baik distribusi kekayaan di dalam negara dengan syariat islam yang kokoh, sehingga tercapai kemakmuran di tengah masyarakat.

Maka wajar tidak, akan ada kebijakan "mengorbankan nyawa" pada negara dengan syariat islam yang kokoh dalam menghadapi pandemi atau bencana? Karena pasti ada sumber daya untuk menutupi itu semua. Tentu butuh kecakapan kepemimpinan, kepatuhan masyarakat, kataqwaan individu, yang dibalut dalam kerangka keimanan.
Dari al-Barra' bin Azib Radhiallahu 'Anhu, Nami Shallallahu 'Alaihi wa Salam bersabda yang artinya, "Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Alloh dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak" (HR. Nasai 3987, Tirmidzi 1455, dan dishahihkan al-Albani).
See?Nampak jelas kan bagaimana islam memperhatikan nyawa seseorang.
Maka menjadi kewajiban bagi seorang pemimpin dalam islam, menjalankan amanah yang ada di pundaknya untuk melaksanakan syariat tersebut. Karena pemimpin dalam islam dipilih untuk menjamin pelaksanaan syariat, bukan untuk melindungi kepentingan kroni.



Bandung, 29 Mei 2020

Penulis: Ulfa C
Penyunting: Teguh IH

Comments

Popular posts from this blog

Resume Kajian Ustadz Syatori Abdul Rauf ✓ Tadabbur QS Yaasin Ayat 2

Penulisan Nomor Surat Dinas (Sekolah)

Contoh SK Pengangkatan Guru Tetap Yayasan